Menelaah Persentuhan Islam dan Jawa bersama Budayawan Irfan Afifi

Oleh: Farras Zahy Putra Satriawan (Santri PRISTAC – Setingkat SMA – Pesantren At-Taqwa, Depok, 15 tahun)
Artikel Ilmiah Liputan Kegiatan
gambar_artikel

Pada hari Rabu yang cerah (29/11/23) santri PRISTAC masih melanjutkan pengembaraan Rihlah Sejarah hari kelima. Hari ini, kami berkesempatan untuk bertemu filsuf dan budayawan muda, Irfan Afifi. Ia merupakan founder dari komunitas bernama Langgar.co, komunitas yang bergerak dalam bidang kebudayaan.

Dalam kunjungan ini, kami diajak untuk menelaah persentuhan antara Islam dan budaya asli yang telah ada di Nusnatara ketika masuknya Islam di Indonesia. Persentuhan ini nantinya akan menjadi ujung tombak dari dakwah yang dilakukan oleh para ulama, yang menjadikan Islam sebagai asasnya. Namun, sebelum masuk ke materi, ia mengungkapkan alasannya mmendirikan Langgar.co, yakni kegelisahaannya akan runtuhnya hubungan Islam dan Budaya yang akhirnya kerap disalahpahami.

Pak Irfan memulai penjelasannya dengan bercerita bagaimana hebatnya strategi para ulama dalam mendakwahkan Islam di Nusantara. Berbeda dengan dakwah Islam di belahan dunia lain yang kebanyakan dengan strategi “milliter”, dakwah Islam di Nusantara bersifat lebih fleksibel. Pada masa itu Islam kemudian berbaur dengan budaya, adat-istiadat, yang sebelumnya sudah ada di Nusantara Pra Islam.

Tentunya selama hal itu tidak bertentangan dengan Syariat Islam dan menggunakan Islam sebagai asasnya, kebudayaan masih dapat dipertahankan. Menurut Pak Irfan seni adalah manifestasi dari sifat Tuhan (Allah) yaitu Yang Maha Indah. Itulah yang dikatakan oleh Mas Irfan ketika menjelaskan perihal alasan mengapa para ulama juga menggunakan seni yang menjadi bagian dari budaya dalam mendakwahkan Islam. Hal ini merupakan suatu nilai lebih dari dakwah Islam di Nusantara.

Islamisasi Budaya yang dipelopori oleh para ulama inilah yang kemudian melahirkan suatu “jiwa” dalam setiap diri masyarakat Nusantara. Kita bisa lihat hinga hari ini, beberapa budaya yang masih bertahan hingga hari ini yang sebenarnya adalah budaya yang diilhami oleh Islam, seperti apeman, tahlilan, dan lain-lain. Inilah salah satu cara yang para ulama lakukan dalam Islamisasi Budaya Nusantara.

Satu hal yang penting untuk diketahui, Islamisasi bukanlah memaksa untuk ‘mencocok-cocokkan” realitas yang ada dengan dalil-dalil dari Al-Quran dan Hadits. Islamisasi adalah membuang yang buruk dan mempertahankan yang baik. Karena Islam itu baik, dan Islamisasi adalah perbaikan dan penyempurnaan.

Pak Irfan juga mengungkapkan saat ini banyak orang yang menjalankan budaya yang ada di masyarakat, namun mereka tidak memahami makna dari apa yang dilakukan. Hal ini kemudian menjadi jawaban atas pertanyaan besar selama ini, mengapa terkadang seseorang terkadang bisa lebih mencintai bangsanya ketimbang agamanya, meskipun secara tidak langsung mereka melakukan sesuatu yang sarat akan nilai-nilai keislaman.

Terlepas dari itu semua, Umat Islam kita patut berbangga. Berbangga karena hari ini Islam bukan lagi hanya seksedar agama, namun juga telah menjadi elemen penting bagi Bangsa Indonesia itu sendiri. Salah satunya dalah dari segi bahasa. Banyak kata dalam bahasa yang sehari-hari kita gunakan (Bahasa Indonesia/Melayu) yang diserap dari bahasa Al-Quran. Oleh karena itu, tugas utama para ulama hari ini bukanlah menghapus budaya yang sudah ada, namun bagaimana memahamkan kepada masyarakat perihal makna dari Islam sebagai jiwa Bangsa Indonesia dalam berbagai aspek. (Editor: Reisya)

AT-TAQWA DEPOK
Jl. Usman Hasbi, RT.04 RW 04 Jatimulya, Cilodong - Depok
info@attaqwa.id
(+62)856 0980 9086