Kerinduan Berjumpa, Menuju Keabadian Cinta

Oleh: Farrel Ahmad Wicaksana (Santri At-Taqwa College, 17 tahun)
Artikel Ilmiah Liputan Kegiatan
...

Cinta dan kehendak merupakan dua esensi penting yang harus ada pada manusia. Cinta, yang sesuai dengan kebenaran, membuahkan keindahan sejati yang menjadikan hidup bermakna dan penuh arti. Kehidupan, berarti dengan cinta yang tunduk kepada kebenaran inilah yang selamanya dicari oleh semua orang pada setiap zaman, tanpa terkecuali. Oleh karena itu, bagi orang-orang yang telah merasakan kenikmatan cinta, mereka rela mengorbankan apa-pun itu -bahkan keselamatannya sendiri- demi menyatakan dan mempertahankan cintanya. 

Mengapa ada seorang ibu yang rela mengorbankan cita-cita pribadinya demi anaknya, ayah yang rela bekerja bersimbah peluh menyiapkan masa depan keluarganya, seorang anak yang siap meninggalkan segala pencapaiannya untuk mengurus orang tuanya, seorang yang dengan penuh sabar dan harapan menunggu kekasihnya selama bertahun-tahun tanpa kepastian? Atau silakan lihat saja makam-makam di TPU Tanah Kusir yang disana banyak terpasang bendera merah putih. Kenapa mereka rela mengorbankan jiwa-raganya untuk bangsa ini? Tentu, alasan mereka tidak lain hanyalah cinta. 

Buya Hamka, dalam bukunya otobiografinya, Kenang-Kenangan Hidup, pernah menulis tentang cinta: “Karena cinta, kita tidak perlu meminta upah sebab cinta sendiri sudahlah upah. Apakah lagi nikmat yang lebih tinggi yang dianugerahkan Tuhan kepada kita, ke dalam perasaan jiwa kita, yang melebihi dari nikmat rasa cinta?... [cinta] tidak meminta perhitungan sebab cinta tidak menghitung, selain dari dirinya sendiri… kalau ia memberi, ia memberikan segala-galanya. Kalau ia mengambil, ia mengambil kesemuanya”

Dari kutipan puitis ini, kita dapat memahami bahwa cinta adalah penggerak manusia untuk rela berkorban. Maka tidak heran, bahwa cinta menjadi sesuatu yang penting, bagian terpenting dari pencarian manusia di hidup ini. Semua orang ingin merasakan cinta.

Lantas, dari beberapa contoh yang telah disebutkan di atas tentang cinta dan pengorbanan, muncul satu pertanyaan besar. Apakah cinta yang dimaksud dari contoh-contoh tadi benar-benar merupakan cinta yang sejati? Cinta yang hakiki dan abadi? Ternyata, apabila diselidiki dengan iman, jawabannya adalah tidak. Cinta kepada anak, orang tua, kekasih, saudara dan yang lain-lain belum dapat dikatakan sebagai cinta yang sebenarnya. Lalu, bagaimana dengan yang disebut dengan cinta yang sejati itu? 

Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah sempurna iman seseorang dari kalian sampai ia mencintai aku lebih daripada orang tuanya, anaknya, seluruh manusia, dan dirinya sendiri” (HR. Bukhari). Allah SWT juga berfirman, “Katakanlah: ‘jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya" (QS. 9: 24)

Dari ayat dan hadits di atas kita dapat mengambil satu kesimpulan besar tentang cinta yang hakiki dan abadi: cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Cinta kepada Allah dan Nabi harus melebihi cinta kita terhadap apapun. Jika tidak,artinya kita menempatkan cinta bukan pada tempatnya yang tepat. 
Mencintai Allah dan Rasul-Nya adalah kewajiban.Cinta sejati inilah yang harus menjadi dasar keimanan kita. Ia harus diisi dengan iman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebab, keimanan dan rasa cinta merupakan satu kesatuan yang jangan sampai dipisahkan, bagai kesatuan jiwa dengan badan. Keimanan tanpa rasa cinta adalah pengakuan palsu yang tidak berarti, sedangkan cinta tanpa keimanan adalah gila dan tak tahu diri.

Dalam Islam sendiri, mencintai orang tua, anak, saudara, kekasih, dan keindahan dalam hidup bukanlah hal yang dilarang, tapi sebaliknya, justru diperintahkan. Akan tetapi, cinta yang kita berikan kepada mereka harus berlandaskan Allah dan Rasul-Nya, bukan semata-mata karena cinta saja. Karena ketika kita mencintai sesuatu dengan alasan Allah dan Rasul-Nya, kita tidak akan pernah merasakan kekecewaan dan kekurangan. 

Dengan cinta yang demikian, tentu yang paling pertama dihadirkan adalah maaf dan keinsafan terhadap hakikat manusia yang bisa salah, dan sebaliknya, ketundukan dan penghambaan penuh kepada Allah yang Maha Benar. Harapan dan rasa bergantung kita tidak akan sekali-kali ditempatkan pada makhluk, sehingga tidak akan ada rasa kekecewaan atau keputusasaan dalam kehidupan karena kita telah cukup dengan cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila cinta kita telah sesuai dengan adab seperti ini, maka tenteramlah hidup kita.

Oleh karena cinta tidak selalu datang dengan segera dan harus dibangun terlebih dahulu, pada momentum Maulid Nabi ini sekiranya adalah waktu yang sangat baik untuk melatih diri kita semua. Renungi kembali dan hadirkan sosok Nabi dalam keseharian kita. Panjatkanlah shalawat yang khusyuk dan banyak, bacalah sirah perjalanannya, teladani sifat dan sikapnya, dan yang terpenting, banyaklah berdoa kepada Allah untuk membukakan hati kita supaya siap-sedia menerima cinta. 

Ingat pula kisah-kisah para keluarga Nabi, sahabat, dan terutama para ulama yang begitu merindukan Nabi kendati kebanyakan dari mereka tidak pernah berjumpa secara langsung dengan beliau. Apa rahasia mereka? Tentu hanya mereka yang telah merasakan yang tahu. Sedangkan kita, masih harus terus berlatih untuk mencintai dan merindukan manusia yang paling mulia itu. Setidaknya, kita harus selalu ingat bahwa Nabi-pun sangat mencintai dan merindukan kita. Beliau ingin kita semua selamat!

Kesimpulannya, latihlah diri untuk mencintai dan merindukan Nabi demi menggapai cinta yang sejati. Kelak nanti di Hari Perjumpaan yang pasti kita semua akan bersama, Abadi!
Ingat sabda beliau, ”Seseorang (akan dikumpulkan) bersama yang ia cintai!” (HR. Bukhari). 

AT-TAQWA DEPOK
Jl. Usman Hasbi, RT.04 RW 04 Jatimulya, Cilodong - Depok
info@attaqwa.id
(+62)856 0980 9086