Keren, Skripsi Santri SMA Ini Bahas Relevansi Ilmu Hadis Terhadap Informasi Era Pos-Truth

Oleh: Faza Zaki El-Hakim (Santri At-Taqwa Depok, 16 tahun)
Artikel Ilmiah Liputan Kegiatan
gambar_artikel

Senin (9/6/2025), Farros Halim dinyatakan lulus setelah memaparkan skripsinya dengan judul “Kriteria Maqbul dan Mardud Ilmu Hadits dan Relevansinya dalam Menerima Informasi di Era Post-Truth.” 

Skripsi setebal 95 halaman itu disidang di hadapan dua penguji. Pertama, Khayrurrijal, M. Phil, Master sekaligus kandidat Doktor di CASIS-UTM Kuala Lumpur. Kedua, Ahmad Damsah Nasution, M. Hum, pengajar ulumuddin jebolan STAI Imam Al-Syafi’i, murid langsung dari Syekh Hasan Hito. 

Di awal pemaparannya, santri asal Depok ini menerangkan seputar paradigma hadis sohih, yakni lima kriteria diterimanya suatu hadis. Kelima itu ialah: tersambungnya sanad, perawinya bersifat adil, perawinya memiliki hafalan yang kuat, terhindar dari ‘illah (cacat) dan syadz (perselisihan). Lima kriteria inilah yang Farros gunakan dalam menimbang dan menanggapi satu informasi. 

Adapun era post truth yang dimaksud Farros ialah masa di mana perasaan lebih dipentingkan daripada objektivitas. “Era dimana orang-orang lebih percaya kepada informasi yang ‘ngena’ ke perasaan... Era di mana kebenaran informasi tidak perlu kembali diperiksa sebab ia berada di urutan kedua, hal semacam ini banyak kita saksikan hari ini” tegas Farros mengutip beberapa definisi dari post-truth.  

Ini tentu tidak seperti yang dikonsepsikan Islam terkait validitas sebuah informasi. Dalam al-Quran Allah berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan(-mu)...” (Qs. Al-Hujurat: 6). Rasulullah SAW juga bersabda bahwasannya diantara tiga hal yang Allah benci ialah menceritakan sesuatu yang tidak jelas sumbernya. 

“Dari dua dalil ini setidaknya dapat dipahami bahwasannya dalam Islam kita diperintahkan untuk mencari kejelasan dan kepastian mengenai berita yang datang sebelum menerimanya,” tegas putra asal Depok tersebut. 

Di akhir pemaparannya Farros berkesimpulan bahwa, “Kriteria diterima dan ditolaknya satu hadits sangat relevan untuk digunakan dalam mengolah informasi di zaman ini, salah satunya agar tidak terjerumus ke dalam penggiringan opini bahkan kepada kesesatan,” tegasnya

Ustadz Ahmad Damsah selaku penguji memberi apresiasi sekaligus tanggapan atas penelitian yang dilakukan Farros. Menurutnya pembahasan ini tidak hanya menarik tapi juga sangat relevan. “Kamu benar, kriteria diterimanya sebuah hadis harus diimplementasikan di era ini, tapi pertanyaannya bukankah informasi hari ini hampir semuanya bisa tertolak melihat susahnya mencari sosok yang memiliki sifat ‘adalah (ketaqwaan yang sempurna)?” tanya beliau.

Sebagai tanggapan, Farros menjawab bahwas lima kriteria ini adalah pedoman untuk menerima informasi dengan penyesuaian-penyesuaian yang ada, maka dalam kondisi tertentu tidak seluruh kriteria ini harus terpenuhi. 

Ustadz kelahiran Medan itu pun menambahkan sebagai pelengkap, “Jawaban kamu benar, namun perlu diperhatikan bahwa lima kriteria tersebut bukanlah syarat maqbul-nya satu hadits, melainkan syarat sahih-nya satu hadits. Sehingga kalau tidak ada salah satu kriteria tersebut, maka satu berita tetap bisa diterima, tetapi kedudukannya tidak setingga jika kriterianya lengkap.”

Ustadz Khairurrijal turut mengomentari skripsi Farros. Menurutnya, lima kriteria ini kurang terlihat diaplikasikan dalam menanggapi beberapa contoh berita yang dipaparkan Farros. “Presentasi kamu sangat baik, percaya diri, kamu memiliki ketelatenan untuk menulis serta menjelaskan apa yang kamu kaji,” tegasnya. 

*
*
*

Editor: Bana

AT-TAQWA DEPOK
Jl. Usman Hasbi, RT.04 RW 04 Jatimulya, Cilodong - Depok
info@attaqwa.id
(+62)856 0980 9086