Inilah Kegiatan At-Taqwa Camp 2023: Tanamkan Adab Cinta Ilmu Dan Alam
Sebagaimana biasanya, agenda MITSAQ bagi santri baru tahun ini diakhiri dengan At-Taqwa Camp. Namun tahun ini sedikit berbeda, karena peserta hanya terdiri dari santri baru Shoul Lin dan PRISTAC, sedangkan santri lama tidak diikutsertakan dan tetap menjalani pembelajaran biasa di pondok. Dengan begitu, jumlah seluruh peserta dengan panitia dan guru kurang lebih tujuh puluh orang (yang biasanya hingga sekitar 200-an).
At-Taqwa Camp kali ini diadakan di Bukit Kabayan, Gunung Halimun Salak, Bogor, pada tanggal 26-28 Juli 2023. Meski dimanjakan dengan pemandangan yang indah, tetapi tujuan perkemahan ini bukan sekadar mengamati keindahan alam, melainkan merenunginya agar kita semakin teringat akan adanya sang Pencipta. Tak lupa, tujuannya juga untuk merajut ukhuwah antar para santri baru, dengan guru, dan panitia yang berasal dari tingkatan At-Taqwa College, yang merupakan santri senior; sebagaimana tema tahun ini, “Alam nan Indah, Iman Bertambah, Rajut Ukhuwah.”
Rangkaian acara terdiri dari berbagai sesi materi oleh para asatidz, seperti materi Pengenalan Mars At-Taqwa, Kesantrian, Tadabbur Alam, Problem Solving, Survive, Tandu, dan Kepemudaan untuk menambah pemahaman santri akan hal-hal yang sekiranya mereka butuhkan. Materi-materi itu juga menanamkan nilai-nilai yang diharapkan akan diamalkan oleh mereka seterusnya ketika menjadi santri at-Taqwa.
Tak hanya materi, At-Taqwa Camp juga diselingi oleh beberapa games dan hiking ke curug dengan tujuan menambah keakraban dan menjalin ukhuwah para santri. Di samping bersenang-senang, kedisiplinan mereka dilatih sejak saat ini untuk berkumpul tepat waktu, mengenakan atribut lengkap, dan sebagainya. Menurut guru kami, hal yang pertama kali mereka dengar dan perhatikanlah yang kelak akan banyak berpengaruh pada diri santri seterusnya, maka waktu-waktu ini harus dimanfaatkan dengan baik.
Puncak acara berada pada tengah malam terakhir, yakni renungan malam. Berbeda dengan acara malam pada umumnya, tujuan kami bukan sekadar menguji keberanian dan mental santri, tetapi melihat hasil yang diperoleh dari rangkaian acara MITSAQ lima hari ini. Melalui pos Adab, Kitab, Silat, Ke-Attaqwa-an, dan Hafalan, kami ingin meyakinkan mereka bahwa kedatangan mereka ke pondok adalah untuk belajar dan menanamkan nilai-nilai Islam dan adab yang baik, bukan main-main.
“Jadi belajar banyak hal baru dari atcamp ini,” kesan salah satu santri, “(yakni) tentang kedisiplinan dan bagaimana mengatur waktu, kekompakan, kerjasama dan jangan saling menyalahkan yang lain, lebih peka lagi terhadap lingkungan maupun orang sekitar, juga materi-materi baru yang menarik.” Santri baru lainnya menambahkan, “(jadi paham juga) bahwa kita dihukum memang karena salah.”
Menjadi Santri Sebenar
Tak sedikit agenda camping yang diisi dengan “haha-hihi” dan obrolan tak manfaat. Namun tidak dengan At-Taqwa. Selama tiga hari, peserta yang merupakan santri baru diberikan sejumlah materi. Di antara yang terpenting adalah tentang kesantrian juga tadabbur alam.
Bobot materi yang penting dan bergizi ini melahirkan apresiasi dari pembimbing. “Ini bukan camping biasa,” begitu ujar salah satu guru pembimbing.
Mengingat agenda At-Taqwa Camp yang merupakan rangkaian dari MITSAQ, salah satu materi yang disampaikan kepada para santri baru ialah Materi Kesantrian. Terkait hal ini, Ustadz Ericson Ziad menyampaikan lima pilar santri menurut Imam Zarkasyi.
Pilar pertama ialah keikhlasan, yakni melakukan sesuatu semata-mata untuk meraih ridho Allah. Sepanjang perjalanan menuntut ilmu, pesan mengenai keikhlasan memang harus selalu diingatkan, karena bisa saja kita terlena dengan keuntungan duniawi yang didapat, padahal al-Ghazali dalam kitabnya menuliskan, bahwa seseorang yang menuntut ilmu untuk tujuan duniawi sama saja menghancurkan dirinya dengan menjual akhirat yang kekal dengan dunia yang fana.
Pilar kedua adalah kesederhanaan. Meskipun menguntungkan, seringkali bergelimang harta justru membuat seseorang lupa akan banyak hal seperti orang lain yang lebih membutuhkan, orang terdekat yang banyak membantu maupun Allah Yang Maha Kaya. Untuk itu, meski diberi kekayaan oleh Allah, tak sepatutnya bagi santri untuk berlebihan dalam memanfaatkannya dan senantiasa ingat akan dirinya.
Ketiga ialah kemandirian. Tak selamanya keluarga, guru, teman maupun siapapun akan ada untuk membantu kita, maka satu-satunya yang bisa kita andalkan ialah diri sendiri. Namun, tentu seorang santri tak akan lupa, bahwa sejatinya tempat bergantung selepas usaha yang kita lakukan ialah Allah SWT.
Keempat adalah persatuan sesama Muslim. Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an, “Sesungguhnya orang-orang mu’min itu bersaudara…”, santri harus menyadari bahwa umat Muslim itu seperti satu tubuh, apabila salah satu anggota tubuh merasakan sakit, yang lain pun akan merasakannya. Apabila sekelompok umat melakukan kerusakan, yang lain pun terkena imbasnya. Apabila sekelompok umat tertimpa musibah, yang lain akan turut membantu.
Pilar terakhir adalah kebebasan. Bukan bebas dalam arti bebas dari aturan dan apapun yang mengikat, tetapi kemerdekaan jiwanya dari hawa nafsu dan segala yang mengekangnya dari kebaikan. “Dikarenakan fitrah manusia yang condong pada kebaikan, maka dengan demikianlah ia menjadi manusia yang sesungguhnya, tanpa menjadi budak bagi manusia maupun makhluk selain-Nya yang mengajak kepada keburukan,” demikian terang ustadz muda lulusan Pesantren Modern Islam Assalam Solo ini.
Merenungi Penciptaan, Menguatkan Iman
Dibandingkan dari berbagai At-Taqwa Camp yang telah lalu, rasanya pemandangan di Bukit Kabayan, Gunung Halimun Salak inilah yang paling menajakan mata. Langit yang bersih, gunung yang dipenuhi dengan pepohonan, sawah yang bertingkat-tingkat dan rumah-rumah warga terlihat jelas dengan begitu indah. Namun, tak selayaknya kita sekadar mengagumi alam tanpa merenunginya.
Pada sesi materi Tadabbur Alam, Ustadz Bana Fatahillah mengingatkan kembali tentang definisi alam sendiri, yakni kullu maa siwAllah, segala sesuatu selain Allah. Maka dari itu, adanya alam sejatinya menunjukkan kita tentang adanya sang Pencipta, karena tak mungkin adanya sesuatu tanpa adanya yang menciptakan.
Selain itu, banyak pula hikmah yang mungkin kita dapati dengan memerhatikan alam dengan mengaitkannya dengan Sang Pencipta. Sebagaimana kisah Nabi Ibrahim AS dalam pengamatannya terhadap matahari, bulan, dan bintang, kita dapat menarik kesimpulan bahwa hanyalah Tuhan yang kekal dan tidak berubah-ubah.
Untuk itulah di dalam al-Qur’an, Allah berkali-kali mengingatkan kita bahwa tak hanya ayat lafhziyyah yang tertulis saja yang perlu kita perhatikan, tetapi juga ayat kauniyyah, atau alam semesta. Sebagai contoh, dalam QS. Al-Ghasyiah, Allah memerintahkan kita untuk merenungi penciptaan unta, terangkatnya langit, tegaknya gunung, dan dihamparkannya bumi. Dari sinilah akhirnya lahir berbagai ilmu tentang alam yang terus maju hingga hari ini. (Editor: Ahd.)