Dalami Pemikiran Tokoh dan Jawab Isu Kekinian, PRISTAC Kokohkan Model Pesantren Pemikiran Setingkat SMA

Oleh: Fathimah Fauziah Azzahrah & Furaiqa Az Zahra (Santri PRISTAC—Tingkat SMA—Pesantren at-Taqwa Depok, 14 tahun)
Artikel Ilmiah Liputan Kegiatan
gambar_artikel

Suasana pagi di hari Ahad, 4 Juni 2023 sangat cerah. Pondok Pesantren At-Taqwa Depok menyelenggarakan presentasi makalah PRISTAC 2 angkatan 5 hari ke-2. Bersama para guru dan santri, presentasi hari ke-2 ini diisi rombongan pemakalah yang berbeda. Hari kedua acara presentasi makalah ini, berlangsung lebih meriah, lebih banyak orangtua santri PRISTAC yang hadir.

Acara berlangsung di dua tempat, yaitu Mushola Taman Adabi dan Perpustakaan Pondok Pesantren at-Taqwa Depok. Tempat pertama—Mushola Taman Adabi—mulai dipadati oleh para orangtua sejak pukul 07.30. Pukul 08.22, acara dimulai. Vaisal Rahmat Hidayat (santri ATCO 2) yang bertindak selaku MC, membuka acara. “Alhamdulillah pada kesempatan kali ini kita dapat bertatap muka dala melihat santri-santri Angkatan lima menyampaikan makalah-makalah mereka,” ujar Vaisal membuka acara tersebut.

Setelah tilawah Qur’an yang dibacakan oleh Fathan Qoriiba, Ustadz Ahda, selaku direktur PRISTAC dipersilahkan memberikan sambutannya kepada orang-tua santri. “Tantangan pemikiran itu ada di mana-mana bukan hanya di kalangan para pemikir atau cendikiawan atau kalangan para ustadz, tapi juga anak SMA. Tantangan ini bukan hanya sekedar gaya hidup bebas atau pergaulan bebas, tapi juga tantangan kebebasan pemikiran di kalangan anak SMA,” ujar Ustadz Ahda al-Ghifari mengutip Ustadz Ardiansyah. “Oleh sebab itu, di PRISTAC, santri bukan sekedar diajarkan menjauhi pemikiran itu. Santri-santri PRISTAC justru diajak menulis, meneliti, dan mengkaji pemikiran-pemikiran tersebut kemudian menjawab dan mengkritisi apa yang tidak sesuai dengan worldview yang kita, seorang muslim, miliki,” tambahnya.

Enam pemakalah pun memulai presentasinya pada pukul setengah sembilan pagi. Berikut pemakalah-pemakalah serta inti isi makalah mereka:

Kholid Aqil M yang membahas pendidikan Islam di tengah para pemuda. ”Penerapan adab mesti diterapkan diseluruh aspek di setiap golongan,” ujar Kholid. Bagaimana bangsa kita akan maju jika mereka yang berpangkat tinggi yang memiliki jabatan tinggi yang seharusnya dewasa malah bertingkah laku tidak senonoh? … Tapi saat ini kita punya pemuda at-Taqwa … yang siap menjadi tombak peradaban Islam,” tambahnya. 

Ada juga Khalidah Abdullah yang membahas feminisme dalam RUU P-KS. “Terkait stereoptype laki-laki dan perempuan tadi, dalam Islam tidak ada yang seperti itu … Lelaki dan wanita melengkapi satu sama lain. Mereka memang beda, tapi tidak bisa dipaksakan satu sama lain,” ujar Khalidah. “Padahal, tujuan Islam menyatukan laki-laki dan perempuan adalah untuk membangun peradaban yang maju di masa depan. Wanita makhluq yang sempurna, pendamping laki-laki, bukan persaingan,” tutup Khalidah.

Muhammad Ayyaz Malik membahas kristenisasi dalam pandangan Buya Muhammad Natsir. “Buya Natsir memiliki solusi agar Islam dan Kristen dapat hidup di satu wilayah dengan damai bersama, yaitu melihat sebab akibat, agar tercipta masyarakat yang damai. Orang Kristen membatasi kegiatan missinya. Umat muslim menahan diri agar tidak cepat-cepat melakuan kekerasan fisik. Kesimpulan dari Ayyaz, “Bahwa Islam dan Kristen dapat bersatu dan mereka dapat melawan atheisme dan persoalan umat manusia lainnya.”

Muhammad Fakhir Mumtadz mengkritik konsep manusia menurut Yuval Noah Harari. Harari percaya bahwa peradaban manusia sekarang yang maju adalah hasil dari evolusi sapien, model manusia cerdas yang telah melalui evolusi. Menurut Harari pada saat itu mereka menyadari adanya tuhan, badai, dan sebagainya. Harari akhirnya berpendabat kematian dapat diatasi pada zaman sekarang karena kematian dianggap penyakit. “Kematian adalah sebuah takdir bukan penyakit … Teknologi yang dibuat manusia secanggih apapun tidak akan dapat mengatasi kematian,” tegas Fakhir.

Muhammad Hilmi Aminuddin membahas konsep pendidikan Islam menghadapi tantangan sekularisasi. “Pada awalnya negeri kita sudah memiliki tujan pendidikan yang benar yaitu sesuai dengan Islam, yaitu terbentuknya manusia cerdas, bertaqwa, dan berakhlaq mulia,” ujar Hilmi. “Tapi sayangnya semakin ke sini, pendidikan Indonesia mulai tersekularisasi. Oleh sebab itu, harusnya masyarakat Indonesia mulai kembali pada pendidikan adab. Yakni, pendidikan yang proporsional menempatkan tujuan hidup manusia.”

Muhammad Jennerhaq Faraby mengkritik pemikiran Ignaz Goldziler tentang Qiraat Al-Qur’an. “Tantangan Islam ada yang dari dalam dan luar, siapa yang dari luar? Yaitu kaum orientalis,” ujar Jenner. “Mereka mengetahui al-Qur’an adalah pokok Islam … oleh sebab itu mereka menyerang Al-Qur’an. Mereka menuduh ulamalah yang membuat bacaannnya sendiri,” ungkap Jennner mengutip Goldziher. Namun Jenner menyimpulkan: “Goldziler hanya berbohong dengan megatasnamakan ulama.”

Sesi penyampaian makalah selesai dan dilanjutkan oleh sesi tanya jawab. Pada sesi ini, orang-tua santri tidak hanya memberi apresiasi kepada para santri, tapi juga menguji dengan pertanyaan-pertanyaan kritis. Para santripun cukup dapat mempertanggung-jawabkan makalah-makalah mereka.

Acara di perpustakaan pun tidak kalah seru dan meriah. Pukul 08.15, acara dimulai. Irfan Hakim (santri ATCO 2), selaku MC membuka acara presentasi. Acara diawali dengan pembacaan al-Qur’an oleh Farros Halim (santri PRISTAC 2). Para hadirin mendengarkan dengan khusyuk. Acara selanjutnya adalah sambutan oleh Ustadz Bana Fatahillah, direktur Shoul-Lin al-Islami. “Kejahatan pemikiran lebih bahaya dibanding kejahatan yang ada saat ini. Para santri ini juga belajar, wacana apa yang sedang terjadi saat ini,” ujar Ustadz Bana. “Selain mengapresiasi, bapak dan ibu juga boleh mengkritisi dan memberi pertanyaan kepada pemakalah.” tambahnya.

Setelah sambutan, lanjut ke acara inti, yaitu presentasi makalah oleh enam santri PRISTAC 2. Presentasi dilakukan berturut-turut oleh para pemakalah. Mulai dari Miftah Hasan yang menyampaikan urgensi tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Lalu, Muhammad Faqih Billah yang membahas peran Abdul Kahar Mudzakkir dalam membendung arus sekularisasi di Indonesia. Tokoh yang jarang diketahui oleh khalayak umum. Presentasi ketiga oleh Muhammad Wisnu Fadilah yang membahas Jean-Paul Sartre dan pemikirannya yang ateis serta bantahan atas pemikirannya.

Acara diselingi istirahat sejenak sambil menonton video profil PRISTAC yang diputar di layar. Setelah beberapa menit, acara di lanjutkan ke presentasi keempat oleh Rafa Elzahira Asyari yang menjelaskan konsep universalisme Islam dalam menjawab tantangan Barat modern. Pada intinya, ia membahas bahwa Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin yang tidak perlu berubah untuk eksis, tidak seperti Barat. Islam adalah agama yang sudah sempurna ajarannya dari dulu hingga nanti. Presentasi kelima disampaikan oleh Yusuf Sholih yang membahas perjuangan Syeikh Yusuf al-Maqassari dalam melawan kolonialisme Belanda. Presentasi terakhir disampaikan oleh Zaidan Ilmi Taqiyyuddin. Ia membahas tentang peran Sultan Muhammad Al-Fatih dalam pendidikan, baik untuk pasukannya ataupun rakyatnya.

Acara presentasi menjadi seru dan menarik. Para hadirin mendengarkan dengan seksama dan sesekali tertawa oleh candaan yang disampaikan pemakalah. “Melihat tema para pemakalah, saya kira komplit sudah untuk menjadi satu pasukan. Ada dua penyerang (kritik pemikiran), yaitu Wisnu dan Hira,  ada tiga benteng, yaitu Faqih, Yusuf, dan Zaidan, yang terakhir ada ahli jiwanya (ahli strategi dan psikologi), yaitu Miftah,” komentar Irfan Hakim selaku MC acara.

Sesi tanya-jawab dibuka. MC hanya memberikan kesempatan untuk 2 pertanyaan. Dua pertanyaan diajukan: “Gagasan kekinian apa yang ada dibenak para pemakalah dalam menangkal tantangan pemikiran sekarang?” dan “Bagaimana posisi kalian (para pemakalah) ketika ada teman yang sedang krisis pemikiran dan krisis jatidiri (sesat)?” tanya ayahanda Faqih dan bunda dari Miftah yang ditujukan kepada seluruh pemakalah.

Para pemakalah menjawab dua pertanyaan tersebut dengan lancar dan baik. Bahkan ada yang menjawabnya diselingi jokes. “Pemuda zaman Al-Fatih dengan zaman sekarang jauh beda. Pemuda sekarang, ya ‘kamu nanya’. Main tiktok, bikin video, dan lain sebagainya. Beda banget sama pemuda di zaman al-Fatih,” jawab Zaidan.

Setelah semua pemakalah menjawab pertanyaan yang diberikan hadirin, acara sampai puncaknya. Ustadz Bana memberikan pesan sebelum acara ditutup. “Ketika di luar minimal mereka tahu, mana yang salah dan mana yang benar,” jelasnya. Acara ditutup oleh MC dan diakhiri dengan sesi foto bersama.

“Masya Allah, sangat luar biasa. Para santri ternyata tidak hanya mengambil atau membaca satu refrensi, tapi dua atau empat refrensi bahkan lebih. Terlihat sekali hasil jerih payah mereka dalam menulis makalah. Kami pun, para orangtua, menjadi sadar dan perlu baca lebih banyak dibanding anak,” terang orangtua dari Kholid Aqil. (Ahd./dok.: Jilan & Muthia).

AT-TAQWA DEPOK
Jl. Usman Hasbi, RT.04 RW 04 Jatimulya, Cilodong - Depok
info@attaqwa.id
(+62)856 0980 9086