Cahaya Tradisi Ilmu di Pandaan dan Bangil

Oleh: Hamzah Fakhruddin (Santri PRISTAC - Setingkat SMA - Pesantren at-Taqwa Depok, 17 tahun)
Artikel Ilmiah Liputan Kegiatan
gambar_artikel

Pesatnya tradisi ilmu dan maraknya metode penulisan di masa tabi’in membantu orang-orang non-Arab (‘ajam) memahami suatu ilmu. Berbeda dengan orang Arab, orang 'ajam memang lebih lekat dengan tradisi tulis dibanding menghafal. Berbeda di masa sahabat dengan kemampuan penghafalan yang begitu kuat, sebagaimana Sayyidina Utsman yang dapat mengoreksi penulisan al-Qur’an dengan hafalannya.

Berlanjut ke generasi berikutnya dengan semangatnya yang menggelora, seorang ilmuwan muslim terkemuka dengan karya magnum-nya Qonun fii Tibb telah menjadi rujukan ilmu kedokteran dunia yang relevan hingga saat ini. Karya itu ditulisnya pada usia 17 tahun. Ialah Ibnu Sina atau yang terkenal di dunia Barat dengan sebutan Avicenna. Kehebatannya di masa muda ia awali dengan menghafal al-Qur’an di usia 10 tahun yang menjadi pondasi dasar keilmuannya.

Begitu juga yang dilakukan oleh Sang Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali. Di usianya sebelum menginjak 30 tahun, ia telah begitu banyak menulis berbagai kitab disiplin ilmu. Setelah itu ia mengajarkan karyanya hingga terus dan tetap dipelajari sampai saat ini.

Semangat masa muda dalam berkarya untuk mengembangkan kematangan intelektual inilah yang diingatkan oleh Ustadz Kholili dalam pengarahan Rihlah Sejarah ketika santri PRISTAC tiba di kediamannya pada hari Ahad, 26 Februari 2023. Ustadz Kholili Hasib merupakan pendiri Madrasah as-Sunnah, Pandaan, yang memiliki tekad mengembalikan tradisi ilmu yang telah berkembang sebelumnya. Sejarah kota Pandaan yang begitu melekat dalam benak Ustadz Kholili menjadi satu dorongan kuat dalam mewujudkan kembali kegemilangan kota Pandaan dengan tradisi ilmu. Hanya karena tradisi ilmulah yang akan membentuk peradaban gemilang.

Secara geografis, Pandaan merupakan daerah yang terletak lebih pedalaman daripada kota jirannya: Bangil, yang merupakan kota pesisir. Hingg saat ini Pandaan dikenal sebagai kota yang kaya unsur peninggalan zaman Hindu-Budha.  Begitulah yang tersaksikan dalam banyaknya situs-situs peninggalan candi dan batu prasasti Hindu-Budha. Kini Pandaan memang telah umum sama dengan kota-kota santri lainnya. Tetapi jika kita menengok dari sejarah, menurut Dr. Kholili, Pandaan menjadi kota terakhir yang dimasuki pengaruh dakwah Islam di wilayah kota-kota satelit Surabaya.

Dalam paparannya mengenai sejarah itulah, Dr. Kholili mengulik temuan-temuan kecil jejak-jejak da'wah dan tradisi ilmu di sekitarnya. Di kampungnya misalnya, Jogonalan, terdapat tempat ibadah yang masih bertahan yaitu Mushola Kiai Nu’man dari tahun 1800-an. Menurutnya, nama jalan di depan rumahnya yang bernama Jalan Lukman Hakim sebenarnya berasal dari kata Nu'man. 

Ustadz Kholili menemukan beberapa manuskrip dari Mushola Kiai Nu’man. Salah satunya manuskrip kitab Minhajul Abidin karya Imam al-Ghazali, namun tidak diketahui kepemilikannya, apakah milik Kiai Nu’man ataukah kakeknya KH Idris yang belajar di Mekkah yang berangkat untuk menunaikan haji. Begitulah tradisi dahulu ketika menunaikan haji sembari menuntut ilmu. Manuskrip dengan sampul pelapah kayu yang menjaga keountentikannya itu kertas dan tintanya pun juga bukan sembarang kertas dan tinta yang tidak putar dimakan usia. 

Kitab Minhajul Abidin adalah kitab tasawuf yang mendalam. Ditemukannya manuskrip ini menunjukkan bahwa di saat itu terdapat tradisi ilmu yang tinggi. Bahkan di dalamnya ada komentar penulis yang menyatakan bahwa ini merupakan kitab terakhir yang ditulis oleh Imam al-Ghazali. Namun di zaman sekarang kitab ini dianggap terlalu tinggi untuk dikaji. Bukan sebab kitabnya yang tinggi akan pembahasannya, namun kualitas tradisi ilmu saat ini yang menurun.

Lain situasi di kota Bangil yang lebih dulu masuk dakwah Islam. Kota maju dengan peradaban tradisi ilmu yang akrab dikenal sebagai kota santri. Kota pesisir tua yang terbentuk dari sebuah pesantren menjadi wadah pesatnya tradisi ilmu. Di sinilah Kiai Nu’man menimba ilmu menjadi bekal dalam melakukan dakwahnya di Pandaan. Tak hanya bekal yang diperoleh dari pendidikannya di Bangil, tetapi juga pernah mencicipi nikmatnya ilmu di negeri Yaman. Kiai Nu’man sendiri adalah kakek dari Ustadz Kholili. Maka tak heran jika Ustadz Kholili memiliki tekad kuat dalam mengembalikan peradaban tradisi ilmu di Pandaan.

Kota Bangil dengan kegemilangannya menjadi sorotan kaum pendatang, Belanda. Oleh sebab itu jalur perdagangan kota Bangil ditutup oleh Belanda dan sebagai gantinya adalah kota Pasuruan. Kota Pasuruan pun menjadi maju pesat dengan ekonomi dan pengaruhnya. Di kota Bangil inilah lahir sebuah Pondok Pesantren Sidogiri yang didirikan oleh  Sayyid Sulaiman. Nama Lengkapnya adalah Sayyid Sulaiman bin Abdurrahman bin Umar Basyaiban yang hidup di zaman sekitar abad 17/18 atau setelah hidupnya wali songo. Marga Basyaiban merupakan marga kedua yang berdakwah di tanah Nusantara setelah marga Azmatkhan. Kakeknya, Sayyid Umar, adalah seorang ulama Kalimantan yang sangat dihormati. Sedangkan ayahnya, Sayyid Abdurrahman, menikah dengan putri keraton cucu Sunan Gunung Jati dan anak Maulana Hasanuddin bernama Syarifah Khodijah atau dikenal dengan Ratu Ayu.

Sayyid Sulaiman lahir dalam keluarga kesultanan Banten, yang selalu bersama saudaranya, Sayyid Arif Abdurrahim, dalam menimba ilmu di tanah Jawa. Sekian lama waktu belajar mereka, membuat Sang Ibu, Syarifah Khodijah, menjenguknya di kota Bangil. Tak dapat dihindari, Sang Ibu jatuh sakit dan meninggal di desa Kersian, kota Bangil. 

Saat ini tempat pemakaman Syarifah Khodijah atau Ratu Ayu menjadi destinasi religi yang ramai pengunjung dari berbagai daerah, khususnya kota Bangil. Makam yang terawat dan telah diperindah menjadi sebuah bangunan tertutup membuat para pengunjung betah belama-lama untuk mendoakannya. Rombongan kami hanya berdoa sebentar dilanjut dengan penjelasan dari Ustadz Kholili selaku pembimbing rihlah kali ini.

Pondok Pesantren Sidogiri yang didirikan oleh Sayyid Sulaiman pada tahun 1745 M/ 1158 H, menjadi cikal bakal kota Bangil sebagai kota santri dan diteruskan oleh cucu-cucunya. Sekiranya waktu menimba ilmu yang cukup lama ditempuh oleh Sayyid Sulaiman serta kecukupan bekal untuk meneruskan perjuangan keluarga keraton, pihak keraton mengutus utusan untuk diajaknya pulang. Dalam perjalanannya, kejadian yang menimpa sama seperti ibunya. Sayyid Sulaiman jatuh sakit di kota Jombang dan meninggal serta dimakamkan di Jombang, Mojoagung.

Kini, Pondok Pesantren Sidogiri hampir menginjak usia tiga abad dengan kepengasuhan ke-15. Motto yang disematkan adalah membentuk santri-santri yang ibadillahi ash-sholihin, yakni menjadi hamba yang sholeh. Begitulah juga yang telah diajarkan oleh para nabi terdahulu dengan sikap ketawadhuannya. Makna Santri menurut Sidogiri adalah seorang yang teguh pada pendirian ketauhidan dengan ajaran yang disampaikan oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Jadi, seseorang yang tidak mondok sekalipun juga dapat disebut santri. Maka tak heran jika kota Bangil ini dikenal dengan kota santri.

Cukup disayangkan, kunjungan rihlah kami tidak bisa masuk ke dalam Pesantren Sidogiri, hanya bisa berfoto depan gerbang Pesantren. Itu disebabkan sedang berlasungnya ujian akhir tahun bagi para santri disana, sehingga tidak dapat menerima tamu dari pihak mana pun. Sebagai gantinya, kami diberi kesempatan diskusi dengan salah satu guru yang rumahnya tidak jauh dari Pesantren. Padahal dewan pengurus Pesantren sedang melakukan rapat pelindung yang membahas program-program pondok, namun Ustadz Achyat, guru Pesantren Sidogiri yang kami temui, izin untuk melayani rombongan kami untuk diskusi seputas Pesantren Sidogiri.

Usia tua Sidogiri yang masih eksis di zaman sekarang, tidak terpengaruh pada tantangan-tantangan pemikiran atau politik yang menyimpang. Sidogiri sendiri tidak ragu untuk mengkritik dan membantahnya. Terlebih para pendiri organisasi Nahdatul Ulama (NU) banyak pula yang berasal dari Sidogiri. Dengan begitu pengasuh berpesan kepada para santri dan alumni untuk tidak keluar dari organisasi NU. Meskipun ada saja santri atau alumni yang menyimpangi akidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Upaya pondok dalam menjaganya, terlebih juga kepada para alumni juga dilakukan dengan maksimal.

Rihlah kami di Pandaan-Bangil adalah suatu hal yang ingin kami ulangi tiap tahunnya. Di dua kota itu, atas penjelasan dari para guru pendamping kami, kami dapat membayangkan bagaimana dinamika da'wah dan tradisi ilmu yang memberikan kekuatan bagi terciptanya kebermanfaatan bagi sesama. Ilmu adalah cahaya. Ia menghapus kegelapan dengan sinarnya. Ia memberi pelita bagi hati manusia. Dengan cara inilah manusia menemukan kemerdekaannya.

AT-TAQWA DEPOK
Jl. Usman Hasbi, RT.04 RW 04 Jatimulya, Cilodong - Depok
info@attaqwa.id
(+62)856 0980 9086