Bulan Ramadhan: Mendidik Manusia, Membangun Peradaban

Oleh: Rifqi Abdul Karim (Santri Pesantren At-Taqwa Depok, 16 Tahun)
Artikel Ilmiah Liputan Kegiatan
...

Mudir Pesantren At-Taqwa Depok, Dr. Muhammad Ardiansyah, menegaskan bahwa Ramadhan adalah bulan yang bisa melahirkan peradaban yang ilmiah, peradaban yang manusianya berilmu dan beradab.

"Loss of adab, masih menjadi problem terpelik umat Islam saat ini," tegas Ustadz Ardi mengutip cendekiawan besar sekaligus pakar pendidikan Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas dalam acara Tarhib Ramadhan di Pesantren At-Taqwa Depok, Kamis (27/2/25). 

Darinya, akan lahir tiga masalah: “al-zhulm” (zalim, meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya), “al-hamaqah” (dungu, menempuh tujuan yang benar dengan cara yang salah), “al-junun” (gila, menempuh tujuan yang salah dengan cara yang benar).

Menurut Ustadz Ardi, akar masalahnya ada pada hati manusianya yang sakit dan nafsunya yang tidak terkendali. Maka, bulan Ramadhan bisa menjadi sarana paling efektif dalam menyelesaikan problem itu. 

Soal “zalim”, kalau di luar Ramadhan beberapa orang mungkin makan secara berlebihan, ketika Ramadhan, ia bisa melatih dirinya untuk menyedikitkan makan. Ia pun bisa berlaku adil bagi dirinya sendiri.  

Perkara “dungu”, kalau sebelum Ramadhan terbiasa menuruti hawa nafsu untuk mencapai kebahagiaan, kala Ramadhan, ia bisa mendidik dirinya untuk mengatur hawa nafsu demi meraih kebahagiaan yang hakiki. 

Mengenai “gila”, kalau sebelum Ramadhan lupa beramal baik karena Allah, ketika Ramadhan, ia bisa membiasakan diri untuk ikhlas, berniat karena Allah ketika beramal dengan menjalankan ibadah puasa, ibadah yang hanya Allah dan diri sendiri yang tahu. 

“Dengan begitu, di bulan Ramadhan, kita tidak sekadar menahan lapar. Melainkan dapat meraih nilai-nilai pendidikan dan pemberadaban di dalamnya,” jelas Ustadz Ardi. 

Ia kemudian menjelaskan bahwa persoalan perut atau rakus makan adalah masalah nafsu yang luar biasa fatal dampaknya. Kalau nafsu itu tidak terkendali, ia akan melahirkan syahwat-syahwat lain yang tidak terkendali pula. Akibatnya, yang rugi tidak hanya dirinya, tapi juga orang lain.  

“Kalau perut terlalu penuh, akan lahir syahwat seksual. Dari keduanya, akan melahirkan syahwat harta. Karena tanpa harta, makan dan seksual akan sulit untuk terpenuhi. Dan dari syahwat harta akan melahirkan syahwat kedudukan atau kekuasaan. Karena tanpa kedudukan atau jabatan, harta yang banyak akan sulit untuk tercapai,” jelasnya mengutip Hujjatul Islam Imam al-Ghazali dalam kitabnya, Al-Arba’in fi Ushuliddin. 

Kalau semua syahwat itu muncul dan tidak terkendali, akan terjadi “seks bebas” di kalangan anak muda, korupsi di kalangan pejabat, dan perebutan kekuasaan dan di kalangan penguasa. Dan benar saja, kini hal itu benar-benar terjadi dan cukup memilukan.  
“Lantas, peradaban macam apa yang ingin kita bangun apabila manusia-manusia yang mengisinya adalah orang-orang yang telah menjadi budak bagi hawa nafsunya, yang melakukan maksiat-maksiat besar itu semua dan merugikan diri dan banyak orang?” pungkas Ustadz Ardi. 

Di sinilah bulan Ramadhan khususnya dengan ibadah puasanya memainkan peran yang begitu penting untuk mendidik nafsu setiap Muslim dan Muslimah. Orang yang berhasil melakukannya, ia adalah orang cerdas. Sebagaimana sabda Nabi:

“Orang yang cerdas adalah ia yang mampu menahan hawa nafsunya dan beramal untuk masa setelah wafatnya. Dan orang yang bodoh adalah orang yang tidak dapat mengatur hawa nafsunya dan berangan-angan (mendapat balasan terbaik) dari Allah.”

Maka untuk membangun peradaban yang ilmiah, manusianya harus menjadi orang yang cerdas, yang pandai mengendalikan nafsu dan rajin mengamalkan ilmu-ilmunya. Bukan malah menjadi orang bodoh dan lemah, sekalipun ilmunya banyak. 

Ustadz Ardi mengatakan, ada empat penghalang bagi setiap hamba untuk sampai kepada ridha Allah, yaitu dunia, makhluk, setan, dan nafsu. Di antara keempat penghalang ini, nafsulah yang paling berbahaya. 

“Nafsu yang mengajak pada keburukan ibarat rumah yang dicuri oleh orang dalam. Masalahnya berasal dari diri sendiri, sehingga sangat sulit untuk dilawan,” ujarnya mengutip Imam al-Ghazali dalam kitabnya, Minhajul ‘Abidin.

Solusinya, ucapnya mengutip Imam Ghazali lagi, adalah tidak memberinya “makan”. Ibarat hewan liar yang tidak diberi makan supaya lemah, tenang dan tunduk. Di sinilah pentingnya berpuasa di bulan Ramadhan. Tidak hanya tidak makan, tapi juga menyibukkan diri dengan beramal shalih, dan selalu memohon perlindungan kepada Allah. 

Ustadz Ardi juga menambahkan tiga solusi lainnya supaya tidak terjerumus oleh jebakan hawa nafsu. Di antaranya: mengingat Allah, mengingat mati, dan mengingat orang-orang yang dicintai, khususnya keluarga, orang tua, dan guru. 

Begitulah bulan suci Ramadhan dapat diwujudkan menjadi peradaban yang ilmiah. Peradaban yang dibangun atas dasar ilmu yang benar. Ilmu-ilmu yang membuat manusia-manusia yang mengisinya, cerdas.

AT-TAQWA DEPOK
Jl. Usman Hasbi, RT.04 RW 04 Jatimulya, Cilodong - Depok
info@attaqwa.id
(+62)856 0980 9086