Adab Sebagai Jantung Syariat: Pelajaran Akhir Tahun Dari Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah
Oleh: Furaiqa Az Zahra & Nishrina Ghatsani, Cut Asiyah, Muthiah Hanif (Santriwati SMA Pesantren At-Taqwa Depok, 18 tahun)
Artikel Ilmiah
Liputan Kegiatan
Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah adalah ulama terkemuka asal Suriah. Ia terkenal sebagai penulis kitab-kitab seputar “ketinggian budaya ilmu dalam Peradaban Islam”, seperti Qiimatuz Zaman `indal `Ulama dan Al-Rasu al-Mu`allim.
Tapi Syaikh Abdul Fattah juga mempunyai kitab kecil yang menyorot soal adab. Judulnya, Min Adab al-Islam. Menutup tahun 2025, santri Pesantren At-Taqwa Depok, mengkhatamkan kitab ini selama dua hari (29-30/12/25) bersama Ustadz Bana Fatahillah Lc. M. A.
Usai khatam, para santri mendapat ijazah kitab ini langsung dari anak beliau. Kata Ustadz Bana, “Alhamdulillah santri-santri diberikan ijazah buku Syaikh Abdul Fattah, dari anak beliau, Syaikh Salman Abu Ghuddah.”
Kitab Min Adabil Islam, berisikan kumpulan adab-adab dalam Islam. Karya tersebut, kata Ustadz Bana, lahir sebagai usaha beliau dalam menasihati umat Islam yang salah memahami adab dan jarang mempraktikkannya.
Ustadz lulusan Al-Azhar Kairo itu menjelaskan, Islam mencakupi seluruh aspek kehidupan. Segala hal terkait urusan dunia dan akhirat, ada adab dan contohnya dalam Islam. Bahkan perkara remeh seperti urusan di kamar mandi pun ada.
“Umat Islam memiliki Nabi Muhammad, teladan abadi dan sempurna. Karena itu adab, sebagaimana yang Nabi ajarkan, bukanlah pilihan melainkan keharusan,” tutur Ustadz Bana mengutip Syaikh Abdul Fattah
Realita hari ini, pengaplikasian adab dalam diri umat Islam, terbilang belum maksimal, bahkan ada yang terkesan meremehkan. Akhirnya identitas Islam sebagai agama yang sempurna, tercoreng sebabnya.
Padahal, kata Syaikh Abdul Fattah, “orang Islam adalah representasi Islam.” Tapi keindahan sinar Islam itu baru terpancarkan bila cerminnya, yakni umat Islam, bersih dengan pengamalan adab. Sekadar tahu tidak cukup.
Kata Imam Qarafy, adab dan ilmu itu ibarat tepung dan garam. Kalau adonan itu kebanyakan garam (ilmu) dibanding tepungnya (adab), hasilnya tidak akan terasa lezat. Oleh karena itu, dengan mengutip salah seorang ulama, Ustadz Bana menegaskan, “Adab adalah jantung syari`at!”
Ada 35 adab sehari-hari yang dijelaskan oleh Syaikh Abdul Fattah. Penjelasannya pun sangat terperinci dan mencerahkan, khususnya bagi anak-anak muda Muslim. Di antara beberapa yang terpenting:
Pertama, adab mengucapkan salam - dalam arti salam Islam - kepada sesama. Adab ini, kata Ustadz Bana, perlu digaris bawahi mengingat beragamnya sapaan lain yang melemahkan syiar Islam.
Kedua, soal bersikap lemah lembut atau kasih sayang. Nabi bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya kelemahlembutan tidaklah ada dalam sesuatu kecuali ia akan menghiasinya, dan tidaklah hilang dari sesuatu kecuali ia akan memperburuknya.”
Sifat lemah-lembut perlu dimiliki oleh setiap muslim. Tapi ia tidak boleh berhenti hanya dalam berbicara. Sifat tersebut juga harus dipraktikkan dalam hal kecil lain, seperti makan dan mengetuk pintu. Bayangkan jika setiap muslim mengaplikasikan setiap adab dalam kehidupan mereka, maka keindahan Islam akan terpancar dan umat Islam akan hidup tenteram dan damai.
Ketiga, adab bertamu. Salah satu ulama salaf mengatakan,
“saling mengunjungilah kalian dan saling menghias diri!”
Selain memperhatikan pakaian ketika bertamu, kata Syaikh Abdul Fattah, seorang tamu harus memperhatikan waktu berkunjung, agar tidak mengganggu jadwal yang dimiliki tuan rumah. Ia pun tidak boleh membebani tuan rumah dengan ragam pertanyaan dan lamanya masa berkunjung.
Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada tuan rumah yang dikunjungi. Sekalipun tuan rumah mempersilahkan tamu untuk mengunjungi ruangan selain ruang tamu, adab si tamu tidak mengintip bahkan “kepo” terhadap apa-apa yang ia lihat.
“Intinya seorang muslim yang ingin bertamu harus memperhatikan adab-adabnya, singkatnya harus tahu diri,” tegas Ustadz Bana.
Keempat, adab ketika menjenguk orang sakit, dengan niat untuk menghibur dan menguatkan ikatan persaudaraan. Hukumnya shunah muakkadah. Namun, jangan berlama-lama dalam menjenguk.
“Ideal waktu menjenguk ialah antara waktu khutbah Jum`at pertama ke khutbah kedua. Kecuali jika diminta untuk menemani orang yang dijenguk karena kedatangan kita menyenangkan hatinya,” jelasnya.
Jangan pula membebaninya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sekiranya berat untuk dijawab. Ustadz Bana memberikan permisalan, “Gimana kabarnya? Kok bisa sih kena penyakit ini? Temen saya aja yang makan mie terus ga kenapa-kenapa tuh.” Sebaiknya, cukup dengan menyapa: “Kaifa anta? Syafakallahu“
Sebagai penjenguk pun, adabnya tidak mengulik dan menyelidiki penyakit yang tidak ada manfaatnya bagi orang yang sedang sakit tersebut. Kecuali, ia adalah seorang spesialis penyakit itu.
Termasuk tidak seharusnya ia mengarahkan orang yang sakit pada suatu obat yang dianggapnya manjur dalam menyembuhkan suatu penyakit, padahal ia bukan pakarnya. Karena hal itu berbahaya dan akan merusak pekerjaan dan kepakaran si dokter.
Sebagai penutup, di akhir kitab, Syaikh Abdul Fattah memberikan nasihat kepada kita, bahwa adab-adab Islam ini berasal dari orang-orang Islam terdahulu untuk kemudian diamalkan di antara sesama manusia.
Hendaknya jangan menggampangkan dan meremehkan orang baik yang harus diperlakukan baik. Jika tidak, berarti kita zalim pada hak-hak yang telah menjadi tanggung jawab kita untuk dipenuhi, dan menjauhi petunjuk Rasulullah.