Teliti ChatGPT, Santriwati At-Taqwa Depok Presentasikan Makalahnya Di Kampus UTM Kuala Lumpur
Oleh: Nabil Abdurrahman (Mahasiswa STID M. Natsir, Alumni Pesantren At-Taqwa Depok)
Artikel Ilmiah
Liputan Kegiatan
Seorang santriwati Pesantren At-Taqwa Depok meneliti tentang CHATGPT dan menyajikan hasilnya di Kampus UTM KUALA LUMPUR, Malaysia.
Di samping dampak positif, hadirnya ChatGPT menyimpan dampak negatif yang perlu diperhatikan. Kritik atas kekurangan yang diberikan ChatGPT inilah yang kemudian dikaji secara serius dalam penelitian Rafa Elzahira (17 tahun), santriwati Pesantren At-Taqwa Depok.
Hasil penelitiannya dipresentasikan dengan baik di RZS-CASIS Universiti Teknologi Malaysia (UTM) pada Sabtu (16/11/2024). RZS CASIS UTM didirikan oleh Prof Wan Mohd Nor Wan Daud, tahun 2012, merupakan lembaga pendidikan tingkat S2 dan S3 di UTM.
Hira menulis makalah dan menyajikannya dalam bahasa Inggris. Judulnya: “Critique on ChatGPT Based on The Dialogue Concerning Language Reflection on Worldview and Knowledge”
Dari penelitian santriwati yang biasa dipanggil Hira ini, ada setidaknya tiga kritik yang perlu diperhatikan terhadap teknologi ChatGPT. (1). Ia tidak memiliki framework ilmu yang tetap (2). Kecenderungan bias dalam menampilkan penjelasan (3). Keterbatasan penggunaan bahasa.
Pertama, ChatGPT tidaklah memiliki framework untuk memahami ilmu. Berbeda dengan jiwa manusia yang tidak terlepas dari keimanan, nilai-nilai, maupun pengalaman. Ia hanyalah “alat” dan tidak memungkinkan untuk memiliki hal-hal tersebut. Sebagai alat, ia cenderung hanya memberikan kumpulan informasi, bukan memberikan ilmu sebagai satu makna yang menyeluruh.
“Karenanya, yang diberikan ChatGPT hanyalah menyajikan berbagai informasi tanpa dipilah dan dipilih terlebih dahulu antara informasi yang benar dan yang salah. Walhasil pengguna ChatGPT bisa jadi akan menganggap semua informasi itu benar, dan ini tentu sangat membahayakan!” ujar Hira
Kedua, kecenderungan bias dalam menampilkan penjelasan. Tidak adanya struktur berpikir di dalamnya menyebabkan tidak sedikit kesalahan dalam mengambil kesimpulan. ChatGPT seringkali hanya memberikan jawaban dari narasi yang paling populer dan boleh jadi meminggirkan narasi yang sejatinya benar.
Ketiga, keterbatasan penggunaan bahasa. Merujuk kepada pandangan Noam Chomsky, tidak seperti manusia, AI tidaklah memiliki pemahaman yang tepat dan menyeluruh dalam memaknai maksud daripada satu istilah. Kesalahan dalam memahami makna dalam satu istilah tidak jarang membawa kepada kesalahan dalam menarik kesimpulan lebih jauh.
Ketiadaan framework yang pasti dalam mengolah satu informasi jelas amat dikritik, salah satunya oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas. Sebab menurut Prof. Al-Attas, setiap ilmu tidaklah netral dan tidak terlepas dari kerangka berpikir dalam memahami sesuatu. Tidak hanya itu, hadirnya fenomena penggunaan ChatGPT telah memudarkan peran penting otoritas dalam suatu ilmu. Dengan adanya ChatGPT, AI tidak jarang lebih dipercaya dibandingkan pandangan dari satu tokoh yang memang otoritatif di bidangnya.
Oleh karenanya, penelitian ini berkesimpulan bahwa ChatGPT perlu dikontrol dan diposisikan dengan selayaknya sebagai sebuah alat. Jangan sampai ia justru menghancurkan otoritas ilmu dan lebih jauh berakibat kepada kekacauan dan kerusakan dalam ilmu pengetahuan (confusion and error of knowledge).
Hira berada di Malaysia untuk acara RIHLAH ILMIAH sepuluh hari bersama sejumlah santri SMA dari Pesantren At-Taqwa Depok, Athirah School Bone, Pesantren Elkisi Mojokerto, dan SMA Baitul Izzah Nganjuk.
Hira menyampaikan makalahnya dalam acara Seminar Internasional tentang Pemikiran Pendidikan Prof Naquib al-Attas, dengan pembicara Assoc. Prof. Dr. Khalif Muammar, Dr Adian Husaini, dan Dr. Muhammad Ardiansyah.
Sejak tahun 2018, Pesantren At-Taqwa Depok, sudah lima kali mengirim para santri SMA nya, untuk presentasi makalah di Malaysia. Alhamdulillah, tradisi ilmiah yang baik ini terus berlanjut.
*
Laporan: Nabil Abdurrahman (Mahasiswa STID M. Natsir, Alumni Pesantren At-Taqwa Depok)
Editor: Bana Fatahillah
Di samping dampak positif, hadirnya ChatGPT menyimpan dampak negatif yang perlu diperhatikan. Kritik atas kekurangan yang diberikan ChatGPT inilah yang kemudian dikaji secara serius dalam penelitian Rafa Elzahira (17 tahun), santriwati Pesantren At-Taqwa Depok.
Hasil penelitiannya dipresentasikan dengan baik di RZS-CASIS Universiti Teknologi Malaysia (UTM) pada Sabtu (16/11/2024). RZS CASIS UTM didirikan oleh Prof Wan Mohd Nor Wan Daud, tahun 2012, merupakan lembaga pendidikan tingkat S2 dan S3 di UTM.
Hira menulis makalah dan menyajikannya dalam bahasa Inggris. Judulnya: “Critique on ChatGPT Based on The Dialogue Concerning Language Reflection on Worldview and Knowledge”
Dari penelitian santriwati yang biasa dipanggil Hira ini, ada setidaknya tiga kritik yang perlu diperhatikan terhadap teknologi ChatGPT. (1). Ia tidak memiliki framework ilmu yang tetap (2). Kecenderungan bias dalam menampilkan penjelasan (3). Keterbatasan penggunaan bahasa.
Pertama, ChatGPT tidaklah memiliki framework untuk memahami ilmu. Berbeda dengan jiwa manusia yang tidak terlepas dari keimanan, nilai-nilai, maupun pengalaman. Ia hanyalah “alat” dan tidak memungkinkan untuk memiliki hal-hal tersebut. Sebagai alat, ia cenderung hanya memberikan kumpulan informasi, bukan memberikan ilmu sebagai satu makna yang menyeluruh.
“Karenanya, yang diberikan ChatGPT hanyalah menyajikan berbagai informasi tanpa dipilah dan dipilih terlebih dahulu antara informasi yang benar dan yang salah. Walhasil pengguna ChatGPT bisa jadi akan menganggap semua informasi itu benar, dan ini tentu sangat membahayakan!” ujar Hira
Kedua, kecenderungan bias dalam menampilkan penjelasan. Tidak adanya struktur berpikir di dalamnya menyebabkan tidak sedikit kesalahan dalam mengambil kesimpulan. ChatGPT seringkali hanya memberikan jawaban dari narasi yang paling populer dan boleh jadi meminggirkan narasi yang sejatinya benar.
Ketiga, keterbatasan penggunaan bahasa. Merujuk kepada pandangan Noam Chomsky, tidak seperti manusia, AI tidaklah memiliki pemahaman yang tepat dan menyeluruh dalam memaknai maksud daripada satu istilah. Kesalahan dalam memahami makna dalam satu istilah tidak jarang membawa kepada kesalahan dalam menarik kesimpulan lebih jauh.
Ketiadaan framework yang pasti dalam mengolah satu informasi jelas amat dikritik, salah satunya oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas. Sebab menurut Prof. Al-Attas, setiap ilmu tidaklah netral dan tidak terlepas dari kerangka berpikir dalam memahami sesuatu. Tidak hanya itu, hadirnya fenomena penggunaan ChatGPT telah memudarkan peran penting otoritas dalam suatu ilmu. Dengan adanya ChatGPT, AI tidak jarang lebih dipercaya dibandingkan pandangan dari satu tokoh yang memang otoritatif di bidangnya.
Oleh karenanya, penelitian ini berkesimpulan bahwa ChatGPT perlu dikontrol dan diposisikan dengan selayaknya sebagai sebuah alat. Jangan sampai ia justru menghancurkan otoritas ilmu dan lebih jauh berakibat kepada kekacauan dan kerusakan dalam ilmu pengetahuan (confusion and error of knowledge).
Hira berada di Malaysia untuk acara RIHLAH ILMIAH sepuluh hari bersama sejumlah santri SMA dari Pesantren At-Taqwa Depok, Athirah School Bone, Pesantren Elkisi Mojokerto, dan SMA Baitul Izzah Nganjuk.
Hira menyampaikan makalahnya dalam acara Seminar Internasional tentang Pemikiran Pendidikan Prof Naquib al-Attas, dengan pembicara Assoc. Prof. Dr. Khalif Muammar, Dr Adian Husaini, dan Dr. Muhammad Ardiansyah.
Sejak tahun 2018, Pesantren At-Taqwa Depok, sudah lima kali mengirim para santri SMA nya, untuk presentasi makalah di Malaysia. Alhamdulillah, tradisi ilmiah yang baik ini terus berlanjut.
*
Laporan: Nabil Abdurrahman (Mahasiswa STID M. Natsir, Alumni Pesantren At-Taqwa Depok)
Editor: Bana Fatahillah