Sudah Setengah Abad, Prof Al-Attas Ingatkan Dampak Buruk Rusaknya Ilmu, Bagaimana Kondisi Umat Sekarang
Oleh: Fatih Madini (Mahasiswa STID Mohammad Natsir)
Artikel Ilmiah
Liputan Kegiatan
Cendekiawan Malaysia terkemuka Prof. Madya Dr. Khalif Muammar A. Harris menegaskan bahwa, kini, Kerusakan Ilmu (Confusion of Knowledge) dan Hilang Adab (Loss of Adab) masih menjadi masalah inti umat Islam yang mesti terus menjadi sorotan.
“Padahal, dua hal itu sudah diingatkan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas sejak Konferensi Pendidikan Internasional di Mekah tahun 1977 dan di Islamabad Pakistan tahun 1980,” ucapnya dalam Seminar “Pemikiran Pendidikan YM Tan Sri Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib Al-Attas” di di Raja Zarith Sofiah Centre for Advanced Studies on Islam, Science, and Civilization (RZS-CASIS), Universiti Teknologi Malaysia (UTM) Kuala Lumpur, pada Sabtu (16/11/24).
Pasca konferensi itu, lanjutnya, Prof Al-Attas segera merumuskan konsep pendidikan “Tadib” sebagai solusinya. Di dalamnya, memuat gagasan “Islamisasi Ilmu” dan “Penanaman Adab”, serta menetapkan tujuan utama dan baku: “to produce a good man”, melahirkan manusia baik, insan adabi.
Konsep itu dijelaskan secara mendalam oleh Prof Al-Attas dalam banyak karyanya seperti “Islam and Secularism”, “Prolegomena to The Metaphysics of Islam” dan “The Concept of Education in Islam”.
Menurut Prof Khalif, melalui kampus yang dibangunnya, , International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), Prof. Al-Attas berhasil membuktikan kebenaran konsepnya. ISTAC terbukti berhasil melahirkan satu lapis generasi intelektual yang berilmu dan beradab, yang tengah berjuang melanjutkan misi besar gurunya itu.
Akan tetapi, hegemoni dan dominasi Sekularisme begitu kuat. Perbincangan Worldview Islam terkait hal-hal metafisik tidak difokuskan. Penanaman nilai-nilai kebaikan dan keadilan diketepikan. Penyucian jiwa diabaikan.
“Akhirnya, wahyu tidak lagi menjadi sumber utama kebenaran dan ilmu pengetahuan. Jiwa dibiarkan kering. Moral (adab) tidak menjadi tujuan utama,” tegas Prof. Khalif dalam seminar yang dihadiri para santri SMA Pesantren At-Taqwa Depok, pelajar SMA Baitul ‘Izzah Nganjuk dan Athirah Bone, serta doktor dan mahasiswa-mahasiswa CASIS.
Sekularisme yang meniscayakan Relativisme telah menghilangkan kebenaran dan makna dalam konsep pendidikan. Paradigma tentang pendidikan tidak lagi tetap. Tujuan pendidikan menjadi buram. Pertanyaan mendasar semacam “belajar untuk apa?”, tidak lagi dipentingkan.
“Akhirnya murid bebas menentukan arahnya sendiri (self actualization). Karena dominasi sekular yang mengarahkan pada pememujaan berlebihan terhadap dunia, akhirnya cita citanya sebatas kejayaan dan kepuasan di dunia semata (Materialisme) dan bagi dirinya sendiri (Individualisme),” jelasnya.
Prof. Khalif menyebutkan bahwa falsafah pendidikan semacam itu berakar dari Peradaban Barat sebagai rahim Sekularisme. Bahkan tidak sedikit dari intelektual Barat yang mengkhawatirkan dan mengkritik falsafah itu; menyebutnya sebagai krisis dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi.
Jacques Maritain, menegaskan bahwa kampus-kampus di Barat telah melupakan “tujuan hakiki pendidikan”. Universitas di Barat hanya mementingkan kaidah atau metode, bukan "the supremacy of the means".
Filosof Spanyol Jose Ortega menyalahkan kampus di Barat yang hanya mementingkan narrow specialization dan mengabaikan ilmu-ilmu kemanusiaan (filsafat, sosial, psikologi dll). Akhirnya, tumpukan teori dan kehebatan skill yang dipunya tidak terarah dengan baik karena minus etika dan kebijaksanaan.
Allan Bloom berpandangan pendidikan tinggi di Barat hanya membuat miskin jiwa mahasiswa. Membuat mereka sulit mengambil manfaat dari pemikiran tokoh-tokoh besar.
Sementara bagi Harry Lewis, kampus di sana terlalu sibuk melahirkan seorang “profesional” sampai abai dengan misi utama pendidikan: melahirkan manusia-manusia bertanggungjawab dan bermoral.
"Manusia-manusia yang lahir dari lembaga pendidikan semacam itu tentu punya skill, mereka seorang profesional yang dapat bekerja. Namun mereka bukan manusia baik. Hakikatnya, mereka tidak terdidik dengan baik,” simpul Prof. Khalif.
Dengan penuh keprihatinan, Prof. Khalif mengatakan, “problem itu semestinya hanya terjadi di Barat yang sekular. Tidak seharusnya hal itu terjadi pula di lembaga pendidikan kita sendiri.”
“Falsafah pendidikan Islam mesti digarap dan disesuaikan dengan pandangan alam Islam, sebagaimana telah diterapkan sejak masa Nabi. Falsafah itulah yang telah dirumuskan oleh Prof. Al-Attas bernama Tadib, dan terbukti berhasil,” pungkasnya.
Dengan Tadib, akan lahir manusia-manusia beradab, baik pemikiran, jiwa, maupun fisiknya. Ia mempunyai kesadaran penuh kalau dirinya adalah makhluk Allah sehingga mempunyai ikatan ketuhanan yang mendasari segala pemikiran dan tindakannya.
Nilai-nilai kebaikan dan keadilan bahkan hikmah berhasil tertanam dalam dirinya, sehingga bisa meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dengan benar dan tepat. Ia memandang ilmu sebagai makna, sehingga dapat memberi manfaat. Kesucian jiwanya selalu berusaha dijaga, sehingga tidak salah niat.
Pandangan alamnya selalu berasaskan Islam, sehingga paham tujuan inti hidup (beribadah) dan belajar (berjuang). Ilmu-ilmu fardhu ain telah ia pahami sejak awal dan amalkan, sehingga menunjang dua tujuan itu. Dan ilmu-ilmu fardhu kifayah mampu ia kuasai sesuai kapasitas akalnya, sehingga bisa berjuang dan memberi manfaat secara adil dan bijaksana.
Dengan Tadib, lahirlah manusia baik yang berilmu dan bisa meletakkan ilmunya pada tempatnya. Berapa pun ilmu yang ia punya, orientasi utamanya tetap sama: berjuang demi bangsa dan Islam, serta memberi manfaat. Hal ini terlampau jauh lebih baik ketimbang melahirkan manusia pintar namun minus adab, sehingga hanya akan membuahkan kerusakan bagi agama dan alam-Nya.
*
(Laporan Fatih Madini, mahasiswa STID Mohammad Natsir, dari Kuala Lumpur).
*
(Laporan Fatih Madini, mahasiswa STID Mohammad Natsir, dari Kuala Lumpur).